Oleh Nurul
Hasanah
Senja turun perlahan di Pulau Salura. Pulau kecil di ujung timur Sumba itu terkenal dengan pasir putih dan laut yang kaya. Saat musim tiba, cumi-cumi berlimpah di tepian pantai. Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, meninggalkan cahaya jingga di langit. Angin laut berembus lembut, membawa suara adzan Magrib dari surau kecil di tepi pantai.
Dari
sebuah rumah panggung sederhana yang menghadap ke laut, seorang wanita paruh
baya memanggil anaknya.
“Kii...
Riki! Shalat, Nak!” serunya lembut namun tegas.
Wanita
itu bernama Marlinda, tapi warga kampung memanggilnya Ibu Marlin. Ia tinggal
berdua dengan anak semata wayangnya, Riki. Suaminya, nelayan cumi-cumi yang
rajin, meninggal dunia dua tahun lalu karena perahu yang ia tumpangi terbalik
saat badai datang mendadak. Sejak saat itu, hidup Ibu Marlin berubah total.
Dulu,
ketika suaminya masih hidup, rumah mereka tak pernah kekurangan makanan.
Sekarang, setiap hari ia harus berjuang.
Riki tidak bisa menerima perubahan itu.
Ia terbiasa hidup berkecukupan. Kini, ketika harus hidup sederhana, hatinya
penuh amarah dan kecewa.
“Apa
sih, Bu? Orang lagi main game malah disuruh shalat!” bentaknya dengan wajah
kesal.
“Astaghfirullahaladzim...
Riki, istighfar, Nak,” ucap Ibu Marlin pelan, menahan perih di dada.
Ia
menatap anaknya dengan mata yang basah. Dulu, ketika almarhum suaminya masih
hidup, Riki tidak pernah sekalipun membantah. Sekarang, setiap kata yang keluar
dari mulut ibunya seolah membuatnya jengkel. Ibu Marlin tahu, luka kehilangan
ayahnya belum sembuh, tapi hatinya pun hancur setiap kali anaknya membentak.
“Ya
Allah, Riki... Ingat, Nak. Kita hidup susah atas izin Allah. Maka sudah
seharusnya kita bersyukur dan melaksanakan kewajiban kita sebagai seorang
Muslim,” ujarnya lembut, menahan tangis.
“Hallah!
Ibu tiap hari ceramah terus. Kalau Ibu mau shalat, shalat aja sendiri! Jangan
ajak-ajak Riki!” balas Riki dengan nada tinggi sambil keluar rumah.
Ibu
Marlin memegang dadanya. Sakit itu datang lagi, nyeri yang hampir setiap malam
menghampiri. Ia hanya bisa menatap punggung anaknya yang menjauh menuju jalan
berpasir yang membelah perkampungan nelayan.
Malam
tiba. Suara ombak terdengar beradu di kejauhan, dan aroma asin laut masuk
melalui celah-celah dinding bambu. Ibu Marlin berwudhu di sumur belakang, lalu
menengadahkan tangan di atas sajadah lusuhnya. Ia tak tahu lagi harus bicara
kepada siapa selain Allah.
“Ya
Allah, lembutkan hati anakku... berilah dia hidayah,” bisiknya di sela air
mata.
Jam
menunjukkan pukul 23.25. Sejak sore Riki belum juga pulang. Ibu Marlin
mondar-mandir di depan pintu rumah sambil menatap jalan setapak menuju pantai.
“Ya
Allah, Riki... kamu di mana, Nak? Ibu khawatir...”
Ia
akhirnya memutuskan untuk keluar mencarinya. Di kejauhan, lampu-lampu perahu
nelayan berkelap-kelip di laut, seakan menjadi saksi doa seorang ibu yang tidak
lelah berharap.
Sementara
itu, di tepian dermaga, Riki duduk bersama teman-temannya. Mereka tertawa lepas
sambil memegang minuman ringan dan mendengarkan musik dari ponsel.
“Eh,
Riki, kamu nggak pulang?” tanya Azlan, salah satu temannya.
“Nggak,
ah. Ngapain pulang? Dengerin ceramah Ibu terus, males banget,” jawab Riki
datar.
“Kok
gitu, Bro? Dia kan ibumu,” kata Ridho menasihati.
“Tapi
Dho, Ibu itu nyebelin! Tiap hari nyuruh shalat terus!”
“Terserah
kamu deh...” Ridho menghela napas panjang.
Ini bukan pertama kalinya mereka menasihati Riki. Tapi Riki selalu menutup telinga.
“Weh, aku pulang dulu ya. Udah jam dua belas lewat,” ujar
Azlan sambil melihat jam tangannya.
“Iya, aku juga,” tambah Ridho.
“Baiklah, hati-hati ya, Bro!” sahut Riki, pura-pura memberi perhatian.
Setelah kedua temannya pergi, Riki sendirian di dermaga. Angin laut malam itu terasa dingin dan menusuk. Ia memandangi cahaya lampu perahu yang berkelip di kejauhan. Dalam hatinya, sebenarnya ada rindu tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya.
Ia
akhirnya berjalan pulang. Di pertengahan jalan, di antara cahaya temaram senter
minyak, tampak sosok yang sangat ia kenal. Seorang wanita tua dengan langkah
gontai dan kain sarung yang menutupi bahunya.
“Riki...
Ya Allah, Nak!” seru Ibu Marlin sambil memeluk anaknya erat-erat.
“Apa sih, Bu?” bentak Riki sambil mendorong ibunya dari
pelukannya.
Tubuh
Ibu Marlin terjatuh dan terduduk di jalan tanah yang lembap. Namun Riki tak
menoleh sedikit pun. Ia berjalan pergi meninggalkan ibunya sendirian di tengah
malam yang gelap gulita.
“Hiks...
hiks...” suara tangis Ibu Marlin terdengar lirih di antara desau angin laut
yang dingin menusuk tulang.
“Ya
Allah... ampunilah dosa anak hamba. Berilah ia hidayah-Mu, Ya Rabb, agar ia
kembali seperti dulu...”
Doa
itu keluar di antara isak dan air mata. Malam di Pulau Salura terasa lebih
sunyi dari biasanya. Hanya suara ombak yang seakan ikut bersaksi atas kepedihan
seorang ibu.
Sesampainya
di rumah, jam menunjukkan pukul 00.55. Ibu Marlin masuk ke kamarnya dengan
langkah lemah. Sebelum tidur, ia memeriksa makanan di atas meja makan kecil
dari kayu kelapa. Nasi dan ikan bakar yang tadi siang ia siapkan masih utuh.
Riki tidak menyentuhnya.
Dadanya
kembali terasa sesak. Ia mengelus dada pelan sambil menatap piring yang masih
tertutup daun pisang itu.
“Selalu
begini...” gumamnya lirih.
Tak
ingin larut dalam kesedihan, Ibu Marlin menutup lampu, lalu berbaring untuk
beristirahat setelah seharian bekerja.
Fajar
menyingsing di Pulau Salura. Suara adzan Shubuh menggema dari surau tepi pantai,
bersahutan dengan debur ombak yang menyapu pasir putih. Ibu Marlin terbangun,
lalu segera berwhudu. Setelah shalat, ia menengadahkan tangan dengan air mata
yang jatuh perlahan.
“Ya
Allah... hamba mohon, berikanlah hidayah-Mu kepada anak hamba. Lembutkan
hatinya, Ya Rabb. Hamba sudah tak sanggup menanggung luka ini...”
Selesai
berdoa, ia menuju kamar Riki untuk membangunkannya.
“Riki...
Riki, bangun, Nak. Ayo shalat Shubuh,” ujarnya lembut sambil menggoyangkan bahu
anaknya.
“Apaan
sih, Bu?” jawab Riki ketus, menepis tangan ibunya.
“Shalat,
Nak. Ayo bangun,” ulang sang ibu dengan sabar.
“Aku
nggak mau, Bu! Kalau Ibu mau jadi orang alim, Ibu aja yang shalat!” teriaknya.
“Astaghfirullahaladzim...”
Ibu Marlin mengelus dada, mencoba menahan sabar.
Ia
keluar dari kamar, menuju dapur. Meskipun tahu anaknya tak akan menyentuh
masakannya, ia tetap menanak nasi dan menggoreng ikan hasil tangkapan keponakannya kemarin. Setelah itu, ia bersiap berangkat kerja.
Ibu
Marlin adalah buruh cuci di rumah keluarga nelayan yang lebih berada. Ia tak
malu, walau sering jadi bahan omongan orang kampung. Pendapatannya tak menentu.
Kadang hanya lima puluh ribu sehari, kadang kurang dari itu. Namun ia selalu
bersyukur, karena masih bisa membeli beras dan garam untuk bertahan hidup.
Sementara
itu, Riki baru bangun menjelang siang. Ia mandi seadanya, lalu keluar rumah
tanpa pamit. Sudah tiga bulan sejak ia lulus sekolah, dan hingga kini ia belum
bekerja. Waktunya habis di tempat tongkrongan dekat pantai bersama
teman-temannya, Azlan, Ridho, Zayyan dan Hasan.
Hari
itu mereka duduk di bawah pohon kelapa, tertawa sambil mengenang masa sekolah.
Suasana awalnya hangat, hingga Hasan bersuara sinis.
“Riki,
kamu dulu keren banget, ya. Sekarang... udah nggak punya apa-apa,” katanya
sambil tertawa kecil.
Wajah
Riki langsung memerah. Ia berdiri dan mengepalkan tangan, siap memukul Hasan.
Tapi Ridho cepat menahan.
“Jangan,
Ki! Mereka cuma mancing emosi kamu. Kamu tahu sendiri, kan, Hasan sama Zayyan
gimana orangnya,” ujar Ridho menenangkan.
Riki
menepis tangan Ridho dengan kasar dan pergi begitu saja, meninggalkan
teman-temannya dalam emosi yang meledak-ledak.
Setibanya
di rumah, Riki membanting pintu dan menendang kursi bambu di ruang tengah.
“Sial!” teriaknya.
“Andai aku punya uang, aku bisa melakukan apa pun yang aku
mau!”
Matanya
liar memandang ke sekeliling, lalu berhenti di depan pintu kamar ibunya, pintu
kayu tua berwarna cokelat. Sebuah senyum miring muncul di bibirnya. Ia masuk ke
kamar itu dan membongkar lemari. Tangannya gesit mencari sesuatu yang berharga.
Tak
lama, Riki keluar membawa barang berharga milik ibunya, yaitu sertifikat rumah
kecil mereka di tepi pantai. Ia berjalan cepat menuju arah rumah yang paling bagus di Salura.
Sore
menjelang. Ibu Marlin pulang dari mencuci di rumah majikan. Begitu membuka
pintu, langkahnya terhenti.
Rumah
itu berantakan. Semua barang di lantai. Lemari kamarnya terbuka lebar.
“Astaghfirullahaladzim...” bisiknya lirih.
Ia
berlari memeriksa isi lemari, dan benar saja, sertifikat rumah yang selama ini
ia jaga dengan hati-hati telah hilang.
Dengan
napas terengah, ia keluar rumah dan berteriak di jalan.
“Riki! Riki! Kamu di mana, Nak?”
Tak ada jawaban. Ia lalu bertanya pada seorang bapak yang
lewat.
“Pak, apakah Bapak melihat anak saya?”
“Oh,
Riki? Iya, Bu. Tadi saya lihat dia lewat sambil bawa sesuatu. Tapi saya nggak
tahu apa,” jawabnya.
“Baik, Pak. Terima kasih,” ujar Ibu Marlin cepat.
Ia
melangkah tergesa di jalan pasir menuju rumah Pak Sukri, seorang juragan cumi-cumi. Ia tahu
betul ke mana Riki pergi. Ia sudah lama mencium gelagat anaknya ingin menjual rumah satu-satunya peninggalan almarhum.
Kini,
ia hanya bisa berharap agar belum terlambat.
Langkah
tergesa-gesa Ibu Marlin membelah jalan berpasir menuju rumah Pak Sukri. Napasnya tersengal. Di kejauhan, ia melihat Riki sedang duduk di samping
Pak Sukri sambil menyerahkan sebuah map cokelat berisi sertifikat rumah.
“Riki!
Berhenti, Nak! Jangan jual rumah kita!” serunya dengan suara gemetar.
Riki menoleh. Wajahnya terkejut, tapi segera berubah
dingin.
“Apaan sih, Bu? Ibu jangan ikut campur urusan Riki!”
bentaknya keras.
“Tapi,
Nak... ini satu-satunya peninggalan ayahmu. Kita sudah tak punya apa-apa lagi
selain rumah,” pinta Ibu Marlin lirih, sambil memegang tangan anaknya yang
kini bergetar.
Pak
Sukri yang sejak tadi memperhatikan, menatap keduanya dengan raut bingung.
“Jadi
bagaimana, Ki? Apakah kamu tetap mau menjual rumah kepada saya?” tanyanya
hati-hati.
“Iya,
jadi, Pak,” jawab Riki tegas, meski suaranya sedikit bergetar.
Mendengar
itu, Ibu Marlin spontan merebut map dari tangan anaknya. Riki tersentak, lalu
marah besar.
“Ibu
jangan ikut campur!” teriaknya sambil mendorong sang ibu.
Tubuh
Ibu Marlin terhempas ke lantai. Kepalanya membentur sudut meja kayu. Suara duk!
terdengar keras, diikuti tumpahan darah merah di lantai rumah Pak Sukri.
“Ya Allah!” seru Pak Sukri kaget.
Riki
terpaku. Wajahnya pucat. Ia mendekati ibunya yang sudah terkulai, lalu
berteriak panik,
“Bu!
Ibu bangun, Bu! Aku nggak sengaja, Bu!”
Pak
Sukri segera memanggil warga. Mereka bersama-sama membawa Ibu Marlin ke Puskesmas Nggongi, menyeberangi laut malam itu dengan perahu cepat milik
nelayan.
Beberapa
jam kemudian, dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah muram. Riki langsung
menghampiri dengan mata merah dan tubuh gemetar.
“Dok,
gimana keadaan Ibu saya?” tanyanya lirih.
“Mohon
maaf... pasien tidak bisa kami selamatkan. Ia kehilangan terlalu banyak darah,”
jawab sang dokter pelan.
Riki
membeku. Dunia seakan berhenti. Tubuhnya lunglai, dan air mata jatuh deras di
wajahnya yang kusut. Ia berlari masuk ke ruangan dan melihat ibunya terbaring
kaku, ditutupi kain putih.
“Ibu...
maaf, Bu... aku salah... aku jahat sama Ibu... jangan tinggalkan aku, Bu...”
jeritnya histeris sambil memeluk tubuh ibunya yang telah dingin.
Hari
pemakaman tiba. Langit Pulau Salura mendung. Suara takbir dan doa mengiringi
jasad Ibu Marlin yang dimakamkan di atas bukit kecil menghadap laut, tempat
yang dulu sering mereka datangi bersama almarhum ayah Riki untuk melihat
matahari tenggelam.
Seusai
pemakaman, Riki kembali ke rumah panggung kecil itu seorang diri. Sunyi. Tak
ada lagi suara ibunya memanggil untuk shalat. Tak ada aroma masakan dari dapur.
Hanya sepi yang menusuk.
Ia
duduk di sudut kamar, menatap foto ibunya yang tergantung di dinding bambu.
Wajah lembut itu kini hanya tinggal kenangan.
Air mata kembali mengalir.
“Maaf, Bu... Riki udah hancurin semuanya...”
Hari
demi hari berlalu. Penyesalan tak pernah berhenti menghantui. Namun perlahan,
Riki mulai berubah. Ia meninggalkan teman-teman lamanya dan mendekatkan diri
kepada Allah. Ia belajar mengaji di surau kampung, lalu membantu ustadz
setempat mengajar anak-anak mengaji.
Satu tahun berlalu. Riki kini dikenal sebagai Ustadz Riki, sosok muda yang rendah hati dan bijak. Warga Pulau Salura kagum melihat perubahan anak nelayan cumi-cumi itu. Semua tahu, perubahan itu lahir dari doa seorang ibu yang tak pernah putus, bahkan setelah tiada.
Suatu
pagi yang cerah, Riki datang ke makam ibunya. Ia duduk di sisi pusara,
membersihkan dedaunan kering yang menutupi nisan bertuliskan “Marlinda binti Rahmat.”
Tangannya bergetar, matanya berkaca-kaca.
“Ibu...
maafin Riki. Dulu Riki jahat banget sama Ibu. Sekarang Riki menyesal karena
nggak pernah dengerin nasihat Ibu waktu Ibu masih hidup.”
Ia berhenti sejenak, menatap laut biru yang tenang di
kejauhan.
“Riki
janji, Bu... Riki akan jadi orang berguna. Riki nggak akan ninggalin shalat
lagi. Semua ini berkat doa Ibu.”
Air
matanya menetes membasahi tanah kubur. Ia mencium nisan ibunya dengan lembut.
“Terima
kasih, Bu... karena Ibu udah lahirin Riki ke dunia ini. Riki pamit dulu, Bu.
Riki janji bakal sering ke sini.”
Angin
laut berhembus pelan. Seolah ikut mengamini janji seorang anak yang akhirnya
menemukan hidayah di ujung jalan.
Nurul Hasanah adalah peserta didik Kelas XI Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Safinatunnajah Salura, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

