H.
Fahrurrozi Zawawi
(Ketua Pengadilan Agama Waingapu)
Saya sering mendapat permintaan untuk mengirim anak-anak Sumba ke Jawa agar mereka bisa masuk pondok pesantren setingkat Tsanawiyah (MTs) dan Aliyah (MA). Namun sampai hari ini saya belum pernah melakukannya. Alasannya sederhana. Menurut saya, pendidikan dasar dan menengah (dasmen) sebaiknya tetap ditempuh di Sumba.
Memang
benar, MTs dan MA di Sumba belum sempurna. Fasilitasnya terbatas, gurunya masih
perlu ditambah, bahkan pengelolaannya masih belum ideal. Akan tetapi
solusinya bukan dengan meninggalkan madrasah-madrasah itu, lalu memilih madrasah
atau pondok pesantren di Jawa.
Justru
yang belum sempurna itulah yang harus kita sempurnakan, yang masih lemah harus
kita perkuat, yang kurang harus kita perbaiki. Siapa lagi yang akan memikirkan
dan mempedulikan pendidikan Islam di Tanah Sumba kalau bukan kita umat Islam
sendiri?
Pendidikan
bukan hanya soal mencetak anak-anak yang pintar secara akademik, tetapi juga
membangun komunitas yang kokoh. Sekolah pada dasarnya adalah miniatur
masyarakat tempat anak-anak belajar hidup bersama, saling memahami dan
membentuk karakter sosial. Kalau anak-anak Sumba diboyong ke Jawa, lalu siapa
yang akan menghidupkan miniatur masyarakat Islam di Sumba ini? Bukankah
justru pendidikan Islam di sini akan semakin rapuh karena ditinggalkan oleh
murid-muridnya sendiri?
Kita
juga perlu memikirkan para guru. Mereka yang sudah bertahun-tahun belajar
di perguruan tinggi Islam tentu membutuhkan ruang untuk mengajar, mengasah
keterampilan mendidik dan menerapkan ilmu yang mereka dapatkan. Proses
pendidikan sejatinya terjadi melalui dialog antara guru dan murid. Kalau
muridnya tidak ada karena semuanya pergi keluar, maka guru kehilangan ruang
untuk berdialog, kehilangan kesempatan untuk mengabdi. Pada akhirnya, potensi
guru akan terbuang percuma, sementara kualitas pendidikan Islam di daerah ini
semakin tertinggal.
Di
sisi lain, kekuatan pendidikan Islam di Indonesia selama ini justru karena ia
tumbuh dari tengah masyarakat, menyatu dengan denyut kehidupan umat. Madrasah
dan pesantren menjadi pusat pembentukan karakter sekaligus pusat transformasi
sosial karena kedekatannya dengan kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam
semestinya menjadi agen pemberdayaan masyarakat lokal, tempat lahirnya
kader-kader yang mengerti kebutuhan bangsanya. Maka, jika anak-anak Sumba
hanya menempuh pendidikan di luar, hilanglah kesempatan untuk menjadikan
madrasah dan pesantren di Sumba sebagai pusat pemberdayaan umat di tanah
sendiri.
Karena
itu, saya berpendapat biarlah anak-anak Sumba menempuh pendidikan MTs dan MA di Tanah Sumba. Pendidikan menengah adalah masa pembentukan karakter yang
sangat menentukan arah hidup seorang anak. Jika sejak dini mereka sudah
dipindahkan ke luar daerah, ada risiko mereka kehilangan ikatan emosional
dengan tanah kelahirannya, merasa asing di tanah sendiri, bahkan bisa jadi
tidak lagi peduli dengan perkembangan pendidikan Islam di Sumba. Sebaliknya,
dengan tetap bersekolah di Sumba, mereka belajar menghadapi kenyataan apa
adanya, tumbuh bersama keterbatasan dan berjuang untuk memperbaiki keadaan dari
dalam. Dari situlah akan lahir generasi yang tangguh, ulet dan punya rasa
memiliki terhadap daerahnya.
Kalau alasannya karena di Sumba belum ada pondok pesantren sehingga anak-anak harus meninggalkan tanah kelahirannya, maka justru di situlah kita ditantang untuk menghadirkan solusi. Mengapa tidak kita dirikan pondok pesantren di Sumba? Dengan mendirikan pondok pesantren, anak-anak dapat memperoleh pendidikan agama yang lebih intensif tanpa harus tercerabut dari akar budaya dan sosialnya. Lebih dari itu, berdirinya pondok pesantren di Sumba akan menjadi pusat pembinaan kader ulama dan intelektual muslim lokal, yang kelak tidak hanya memahami teks keislaman, tetapi juga mampu menjawab problematika masyarakat Sumba secara langsung. Pondok pesantren di tanah sendiri juga akan memperkuat kemandirian umat, menumbuhkan solidaritas sosial serta memastikan bahwa perjuangan membangun pendidikan Islam tidak hanya berhenti pada generasi sekarang, tetapi terus berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Memang, dari segi sumber daya manusia yang ada saat ini, kita mungkin belum mampu mendirikan pondok pesantren yang selevel dengan pondok pesantren besar di Jawa. Tetapi hal itu bukan sesuatu yang aneh, sebab pondok pesantren di Jawa pun tidak lahir dalam sekejap, melainkan dibangun dengan kesabaran, perjuangan dan konsistensi puluhan bahkan ratusan tahun silam. Kalau kita terus berpikir ideal menunggu kesiapan sempurna, maka kita tidak akan pernah memulai. Lantas, kapan momentum terbaik untuk membangun pondok pesantren di Sumba? Jawabannya sederhana. Lebih baik dimulai saja dulu. Soal penyempurnaan dan pengembangan kelembagaannya, itu bisa dilakukan sambil berjalan. Yang terpenting adalah keberanian untuk memulai langkah pertama, sebab dari langkah pertama itulah jalan panjang akan terbuka.
Setelah anak-anak menyelesaikan pendidikan Aliyah di sini, barulah saatnya kita kirim
mereka ke Jawa, ke Lombok atau kota-kota besar, untuk melanjutkan studi ke
jenjang perguruan tinggi. Langkah itu bukan hanya untuk memperluas wawasan dan
memperdalam ilmu, tetapi juga untuk menyiapkan kader-kader yang kelak kembali
dengan bekal keilmuan, jejaring dan pengalaman nasional. Dengan cara ini,
anak-anak kita dapat mengisi universitas-universitas di berbagai
kota besar dengan membawa identitas Sumba yang kuat, tidak minder dengan
keterbatasan asalnya, sekaligus bangga menjadi duta Sumba di dunia akademik.
Lebih
dari itu, mereka akan membawa pengalaman berharga tentang bagaimana pendidikan
Islam di Sumba yang pernah mereka jalani dengan penuh perjuangan. Pengalaman
itu akan menjadi energi moral yang mendorong mereka untuk pulang dan membangun
kembali daerahnya. Inilah strategi jangka panjang. Membangun dari dalam lalu
meluaskan ke luar. Kita mulai dengan memperkuat pondasi pendidikan Islam dari
akar rumput, sambil menyiapkan generasi yang mampu berdiri sejajar di panggung
nasional, bahkan internasional, tanpa kehilangan akar budaya dan agamanya.