Hari Pendidikan Nasional: Harapan untuk Kesetaraan

Oleh:

Anita Qurroti A'yuni, Lc., M.Pd.

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional, mengenang jasa Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan nasional. Namun, di balik gegap gempita upacara dan slogan semangat membangun generasi emas, ada potret buram yang masih terus menganga lebar: ketimpangan pendidikan, terutama di wilayah terluar negeri ini. Salah satunya adalah Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Ketidaksetaraan yang Terlupakan

Di kota-kota besar, guru dan murid mulai akrab dengan pembelajaran berbasis digital, kurikulum merdeka, hingga kecerdasan buatan. Namun di pelosok-pelosok negeri ceritanya lain. Sebagai guru, saya sering kali mendengar cerita-cerita miris tentang perjuangan dan pengabdian guru-guru di wilayah-wilayah yang jauh dari ibukota kabupaten ini.

Para guru itu berjuang menyalakan semangat belajar meski listrik “byar pet” dan sinyal internet seperti tamu yang enggan datang. Mereka mengajar di sekolah-sekolah dengan fasilitas minim, bahkan sebagian masih berdinding bambu dan beralaskan tanah.

Ironisnya, tidak banyak yang bisa dibawa pulang oleh para guru itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penghasilan mereka jauh di bawah upah minimum regional (UMR) buruh. Banyak dari mereka hanya menerima gaji setiap tiga bulan sekali. Itu pun dengan jumlah yang tak layak, karena jumlah murid di sekolah tempat mereka mengabdi sangat sedikit dan hampir semuanya tidak mampu. Mereka tetap mengajar, meski kadang harus merangkap tugas yang bukan bidangnya, hanya karena tidak ada guru lain. Mereka tetap mendidik, meski harus berjalan kaki berjam-jam menembus sungai, hutan dan bukit demi sampai ke sekolah.

Papan Tulis Digital yang Tak Tersentuh

Cerita menyayat datang dari sebuah madrasah di pedalaman Sumba Timur. Saat  berkunjung ke sana, saya mendapati sebuah papan tulis digital canggih yang teronggok di sudut ruang guru. “Wah keren sekali ya, madrasah di pelosok tapi pembelajarannya digital,” kata saya.  Salah seorang guru di sana pun menanggapi, “Papan ini tidak berguna, kami mau gadaikan saja”.

Ternyata tidak semua sekolah maupun madrasah bisa memanfaatkan bantuan digitalisasi pendidikan dari pemerintah dengan berbagai alasan. Bisa jadi karena minimnya Sumber Daya Manusia, sinyal internet yang kurang memadai, ataupun listrik yang kurang bisa diandalkan. Pada akhirnya, pihak sekolah atau madrasah bahkan sempat mempertimbangkan untuk menggadaikan papan tulis digital demi membiayai kebutuhan sekolah yang lebih mendesak: membeli alat tulis, pengadaan meja dan kursi yang layak, memperbaiki atap dan plafon kelas yang bocor, memperbaiki lantai kelas ataupun untuk gaji guru.

Program digitalisasi pendidikan memang menjadi salah satu fokus kebijakan nasional. Namun tanpa infrastruktur dasar, listrik dan jaringan internet yang stabil, semua hanya menjadi narasi manis di atas kertas. Pemerataan kualitas pendidikan tidak bisa hanya diukur dari distribusi teknologi, tapi dari apakah teknologi itu bisa digunakan secara nyata dan efektif.

Apa yang Harus Dilakukan?

Hari Pendidikan Nasional seharusnya tidak berhenti pada seremoni tahunan. Ini harus menjadi momentum refleksi dan aksi. Berikut beberapa langkah konkret yang perlu dilakukan semua pihak, terutama pemerintah pusat dan daerah:

1. Kebijakan Gaji yang Adil untuk Guru

Guru di wilayah tertinggal, terluar dan terpinggirkan harus mendapat perlakuan khusus. Pemerintah harus hadir memperhatikan standar hidup layak guru. Pemerintah tidak boleh abai atas penghasilan guru yang lebih rendah dari UMR buruh. Pemerintah bisa membentuk sistem subsidi silang dari pusat untuk mendukung sekolah-sekolah dengan murid miskin atau jumlah siswa sedikit. Kalau Pemerintah tidak mengambil inisiatif maka kondisi seperti ini akan berjalan selamanya, karena guru-guru itu tidak mungkin turun ke jalan-jalan menggelar demonstrasi.

2. Prioritaskan Infrastruktur Dasar

Sebelum memaksakan digitalisasi, pemerintah harus memastikan listrik dan jaringan internet tersedia secara stabil di seluruh pelosok negeri. Tanpa itu, digitalisasi hanya akan menambah tumpukan alat yang mubazir.

3. Peningkatan dan Pemerataan Kualitas Guru

Program pengiriman guru berkualitas harus dilanjutkan dan diperluas, termasuk pelatihan berkala yang sesuai konteks lokal. Selain itu, rekrutmen guru ASN harus diprioritaskan untuk daerah-daerah yang mengalami kekurangan tenaga pendidik.

4. Kolaborasi dengan Swasta dan Komunitas Lokal

Dunia usaha dan masyarakat sipil dapat menjadi mitra penting dalam mendukung pendidikan di daerah tertinggal, baik dalam bentuk dana, pelatihan, atau penyediaan fasilitas yang relevan.

5. Pengawasan dan Evaluasi Program Pendidikan

Pemerintah dan DPR harus secara aktif mengawasi penggunaan anggaran pendidikan agar tepat sasaran dan tidak hanya habis untuk proyek-proyek yang tampak megah tapi tidak berguna di lapangan.

Penutup: Pendidikan Tidak Boleh Jadi Privilege

Menjadi manusia yang berpendidikan adalah hak seluruh anak bangsa. Bukan hak istimewa untuk golongan tertentu dan daerah saja. Setiap anak negeri ini berhak mendapatkan pendidikan yang baik. Selama masih ada guru yang hidup dalam kemiskinan, selama masih ada anak-anak yang belajar tanpa meja, tanpa listrik, dan tanpa harapan, maka kita belum benar-benar merdeka dalam pendidikan.

Hari ini, mari tidak hanya mengenang Ki Hajar Dewantara sebagai simbol. Mari hidupkan semangatnya dengan keberpihakan nyata pada mereka yang paling tertinggal.

Penulis adalah guru MIS Insan Robbani Sumba Timur NTT dan pengurus Bidang Dakwah dan Pengabdian Masyarakat DPP Wihdah Azhariyah Indonesia (WAZIN), Organisasi Perempuan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir.

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)