SAMSUMBA.com
- Ketua Pengadilan Agama (PA) Waingapu, H. Fahrurrozi Zawawi menyampaikan
khotbah di Masjid Khulafaur Rasyidin Kanatang Sumba Timur, Jumat (22/8/2025).
Khotbah itu masih seputar peringatan kemerdekaan Indonesia.
Dikatakan
bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah asing, melainkan juga
terbebas dari rasa lapar, kebodohan, penghinaan dan penindasan. Menurutnya,
nikmat kemerdekaan baru benar-benar bermakna apabila seluruh rakyat dapat hidup
tenang, berpendidikan dan sejahtera.
Ketua PA Waingapu kemudian mengingatkan pesan Allah dalam Al-Quran Surat Adh-Dhuha Ayat 9-10 yang memerintahkan kepedulian sosial, yaitu melarang menindas anak yatim dan menghardik orang yang meminta.
Ayat itu, lanjutnya, menegaskan bahwa siapa pun yang telah merdeka dari kesulitan pribadi wajib memerdekakan orang lain dari penderitaan sosial dan ekonomi. “Inilah inti etika kemerdekaan. Nikmat tidak boleh berhenti pada diri sendiri, tetapi harus mengalir menjadi perlindungan bagi yang rentan,” ujarnya.
Dijelaskannya, makna fala taqhar berarti jangan gunakan kuasa untuk menekan anak yatim, dan fala tanhar berarti jangan mempermalukan orang yang membutuhkan. “Fala tanhar dari kata nahr, artinya menghardik/menolak dengan kasar. Maksudnya jangan mempermalukan atau mematahkan harapan orang yang datang meminta pertolongan,” terangnya.
Lebih lanjut dijabarkan bahwa yatim dan sa’il merupakan ikon rakyat yang belum merdeka. Yatim adalah
simbol warga tanpa pelindung, meliputi anak, orang lanjut usia sendirian, difabel,
keluarga tanpa pencari nafkah dan korban bencana. Dan sa’il bukan hanya
pengemis, lebih dari itu juga mencakup setiap orang yang membutuhkan (makan,
pendidikan, akses layanan) atau penuntut ilmu yang datang meminta bantuan.
Ketua
PA Waingapu menekankan, kemerdekaan yang diperingati kali ini belum lengkap
jika masih ada anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan, keluarga miskin yang tidak punya sumber penghidupan dan para orang lanjut usia yang hidup sengsara.
Selain membahas kandungan Surat Adh-Dhuha, Hakim asal Pati Jawa Tengah itu juga mengaitkannya dengan
Surat Al-Ma’un Ayat 1-3. Disebutkan bahwa mendustakan agama berarti menghardik
anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.
“Surat
Al-Ma’un Ayat 1-3 ini menegaskan bahwa esensi agama tidak berhenti pada ritual,
melainkan diwujudkan dalam kepedulian sosial. Orang yang rajin ibadah tapi
tidak peduli pada anak yatim dan orang miskin, dalam pandangan Allah dianggap pendusta
agama. Ini menandakan bahwa keimanan adalah pembelaan pada yang lemah,” tuturnya.
Ditandaskan
bahwa merdeka sejati berarti negara, umat dan masyarakat menjadi pelindung orang-orang
lemah, bukan malah menyingkirkan.
“Ayat Wala Yahudhdhu 'ala Tha'amil Miskin, artinya bukan sekadar tidak memberi, tapi juga tidak menggerakkan masyarakat untuk peduli. Ini peringatan keras, bila sistem sosial membiarkan orang miskin tetap lapar, maka itu tanda agama belum dihidupkan,” ungkapnya.
Menurutnya,
bangsa Indonesia memang telah merdeka dari penjajahan asing, tetapi dipertanyakan
apakah rakyat sudah merdeka dari kemiskinan, kelaparan, kebodohan dan penindasan.
“Kemerdekaan
tidak cukup hanya simbol bendera dan upacara, tetapi harus terasa di perut
orang miskin dan di mata anak yatim yang tersenyum karena terlindungi. Jika
setelah 80 tahun merdeka, masih banyak anak putus sekolah, rakyat lapar, dan
kaum lemah terpinggirkan, berarti semangat kemerdekaan kita masih belum sejalan
dengan nilai Al-Quran,” tegasnya.
Ditambahkannya,
kandungan Surat Al-Ma’un Ayat 1-3 mengajarkan bahwa kemerdekaan bangsa harus diterjemahkan
menjadi kemerdekaan sosial. Yaitu membela anak yatim, menolong fakir miskin, membantu anak-anak kurang mampu mengakses pendidikan yang dapat mengantarkan mereka kepada masa depan lebih baik, serta menggerakkan kepedulian kolektif untuk kemaslahatan umat. Tanpa itu, kemerdekaan hanya slogan, dan
agama hanya ritual kosong. (zi)